A. Pengertian Adat Istiadat
1. Adat Istiadat
Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun
temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat
integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat( Kamus besar bahasa
indonesia, 1988:5,6).
Adat istiadat adalah perilaku budaya dan aturan-aturan yang
telah berusaha diterapkan dalam lingkungan masyarakat.
Adat istiadat merupakan ciri khas suatu daerah yang melekat
sejak dahulu kala dalam diri masyarakat yang melakukannya.
Adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak
lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat.
2. Macam-macam Adat
Adat yang Sebenarnya Adat Adalah adat yang tak lekang oleh
panas, tak lapuk oleh hujan, dipindah tidak layu, dibasuh habis air. Artinya,
semua ketetapan yang ada di alam ini memiliki sifat-sifat yang tak akan
berubah, contohnya hutan gundul menjadi penyebab banjir, kejahatan pasti akan
mendapat hukuman, kebaikan akan membuahkan kebahagiaan, dan seterusnya.
Adat yang Diadatkan Ialah semua ketentuan yang berlaku di dalam
masyarakat. Ketentuan-ketentuan ini dikodifikasikan oleh Datuk Nan Duo
berdasarkan sifat benda-benda di alam. Gunanya untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat dalam hal ketertiban, perekonomian, dan sosial budaya.
Adat yang Teradat Yaitu aturan yang terbentuk berdasarkan
musyawarah. Setiap kelompok masyarakat memiliki aturan dan tata cara yang
berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Adat-Istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat
setempat ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah
raga, dsb.
Adat istiadat bisa berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
Contoh adat istiadat yang tertulis antara lain adalah:
- .piagam-piagam raja (surat pengesahan raja, kepala adat)
- peraturan persekutuan hukum adat yang tertulis seperti
penataran desa, agama desa, awig-awig (peraturan subak di Pulau Bali).
Contoh adat istiadat yang tidak tertulis, antara lain
adalah:
- Upacara ngaben dalam kebudayaan Bali
- Acara sesajen dalam masyarakat Jawa
- Upacara selamatan yang menandai tahapan hidup seseorang
dalam masyarakat Sunda.
3. Kriteria adat istiadat
Kriteria yang paling menentukan bagi konsepsi tradisi itu
adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan orang-orang
melalui fikiran dan imaginasi orang-orang yang diteruskan dari satu generasi
kegenerasi berikutnya(Skils dalam Sayogyo,1985:90).
C. Adat Istiadat Pernikahan di Aceh
1. Persiapan
dan Pembukaan
a. Jak Keumalen/ cah Roet
Jak Keumalen/ Cah Roet ini ada dua cara, yaitu:
- Langsung dilakukan oleh orang tua atau keluarga
- Theulangke dilakukan dengan menggunakan utusan khusus.
Maksud Jak Cah Roet adalah sebagai tahapan pertama dalam
menjajaki atau merintis jalan. Biasanya beberapa orang dari pihak keluarga
calan mempelai putri, datang bersilaturrahmi sambil memperhatikan calon
mempelai putrid, suasana rumah dan tingkah laku keluarga tersebut. Pada
kesempatan ini, calon pihak mempelai pria juga tidak lupa membawakan bungong
jaroe atau bingkisan yang berupa makanan. Setelah adanya pendekatan, keluarga
calon mempelai pria/ linto baro akan menanyakan apakah putrinya sudah ada yang punya
atau belum. Apabila mendapat jawaban dan sambutan baik dari pihak dara baro,
maka dilanjutkan dengan jak lake (jak ba ranub).
Upacara itu terjadi disebabkan pada masa lampau hubungan
atau komunikasi antara wanita dan pria khususnya antara remaja berlainan jenis
kelamin dianggap tabu, hubungan mereka sangat terbatas (tidak sebebas hubungan
remaja masa kini, sejak pertengahan abad 19). Selain itu peranan orang tua
terhadap anaknya sangat dominan (over protektif) sehingga dalam memilih jodoh
pun menjadi tanggung jawab orang tua masing-masing remaja, baik pria maupun
wanita.
b. Jak Lake Jok Theulangke/ Jak Ba Ranub (Meminang)
Dalam acara ini orang tua pihak Linto (Mempelai Pria) member
theulangke (utusan) dengan membawa sirih, kue-kue dan lain-lain. Pada theulangke,
pihak linto sudah mulai mengemukakan hasratnya kepada putrid yang dimaksud.
Apakah pihak putrid menerima, akan dijawab “insya Allah” dan pihak keluarga
serta puteri yang bersangkutan akan melakukan musyawarah. Jika hasil musyawarah
tersebut “tidak diterima” oleh pihak keluarga atau pihak puteri, maka mereka
akan menjawab, dengan alas an-alasan yang baik atau dengan bahasa isyarat “hana
get lumpo/ mimpi yang kurang baik”. Sebaliknya jika “diterima” oleh pihak
keluarga puteri, akan dilanjutkan dengan “Jak ba tanda”
Di kalangan orang tua masa lampau masih banyak yang percaya
pada hal-hal yang berbau mistik, seperti adanya makna dari mimpi dan percaya
pada kekuatan-kekuatan alam. Kepercayaan itu dipengaruhi oleh ajaran agama
islam yang kadang kala masih membaur dengan ajaran animism atau kepercayaan
yang di anut oleh nenek moyang kita zaman prasejarah, sehingga dalam menentukan
pinangan diterima atau tidak, juga masih dipengaruhi oleh kepercayaan tersebut.
c. Jak Ba tanda/ Bawa Tanda
Maksud dari “jak ba tanda” adalah memperkuat (tanda jadi).
Biasanya pada upacara ini pihak calon linto membawa sirih lengkap dengan
maca-macam bahan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang dinamakan “lapek
tanda” dan perhiasan dari emas sesuai dengan kemapuan calon linto baro. Ba
tanda” ini di tempatkan didalam “talam/ dalong” yang dihias dengan bunga
kertas, kemudian tempat-tempat itu di kosongkan dan di isi dengan kue-kue
sebagai “balah hidang” oleh keluarga mempelai putri. Acara balah hiding ini
biasanya dilaksanakannya bias langsung atau setelah beberapa hari kemudian.
Dalam upacara ini sekaligus dibicarakan hari, tanggal
pernikahan, jeulame (mas kawin), peng angoh (uang hangus), jumlah rombongan
pihak linto serta jumlah undangan.
2.
Pernikahan
Pernikahan ada 2 Macam :
a. Nikah Gantung,
yaitu pernikahan gadis yang masih kecil belum cukup umur atau masih dalam
pendidikan, mereka dinikahkan terlebih dahulu dan akan diresmikan beberapa
tahun kemudian, Biasanya, hal ini terjadi pada gadis yang dijodohkan, sebab
pada zaman dahulu, agam ngon dara (bujang dan gadis) tabu mencari jodoh
sendiri. Penentuan teman hidup menjadi wewenang orang tua; terutama bagi
seorang gadis.
b. Nikah Langsung,
yaitu pernikahan yang dilakukan langsung seperti biasa, langsung diresmikan dan
(wo linto) mempelai pria langsung pulang kerumah dara baro. Pada gadis dewasa
yang tidak ada halangan, nikah langsung dilaksanakan di kantor KUA atau rumah
mempelai wanita.
Pada masa lampau kaum bangsawan selalu membuat upacara
pernikahan di rumah calon mempelai wanita (dara baro).
Pernikahan (peugatib) dilakukan beberapa hari sebelum
upacara wo linto/meukeurija (pesta). Sebelum upaca meukeurija diadakan meuduek
pakat (bermufakat) dengan para orang tua adat, dan anggota keluarga serta pemuka
masyarakat yang terdiri dari tuha peut (penasehat), keuchik gampong (kepala
desa), imum meunasah (imam langgar). Biasanya musyawarah dipimpin oleh orang
tua calon mempelai wanita (dara baro) atau yang mewakilinya untuk membicarakan
pesta yang akan diselenggarakan (persoalan teknis). Dalam kesempatan ini,
keluarga atau saudara dari orang tua calon mempelai kedua belah pihak,
menyampaikan niatnya untuk memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuannya
masing-masing.
Dalam upacara perkawinan adat Aceh, makanan kecil atau
kue-kue yang tidak boleh di tinggalkan adalah buluekat dengan tumpo (ketan),
manok panggang (ayam panggang), buleukat dengon (dodol), wajek, halua,
meuseukat, thimpan serta kue-kue kering yang disebut dengan reumok tho,
kuekarah, kembang goyang (kembang Loyang bhoi/ bolu), bungong kaye (bunga
kayu). Sedangkan lauk-pauknya yang biasa di hiding pada pesta perkawinan adat
aceh antara lain :
- Gule boh panah
(gulee nangka khas Aceh)
- Masak keuruema/
masak puteh (masak semacam opor)
- Shie masak mirah
(daging masak merah)
- Seumur Aceh
- Engkot Tumeh (Ikan
Tumis Khas Aceh)
- Engkot Masam Keueng
(Ikan Asam Pedas)
- Udeung tumeh (Tumis
udang khas Aceh)
- Shie Cuka (daging
masak cuka)
- Sambai Gureng Ate
(sambal goring hati)
- Boh itek jruek
(telor bebek asin)
- Boh reuteuk crah
(tumis kacang panjang)
- Dan lain-ain
Mekeurija (pesta menyambut linto ke tempat dara baro)
disertai dengan pembuatan tenda (jambo/seung) dengan system bergotong royong.
Peudap jambo, atau pasang tarun pada adat perkawinan di
jawa, dibuat kurang dari tujuh hari sebelum pesta diadakan. Dikerjakan oleh
pemuda kampong (kaum pria). Bila sudah selesai dipeusijuk (di tepung tawar)
bersama cawan pingan (peralatan makan). Jambo ini didirikan dihalaman rumah sebagai
tempat menerima tamu, biasanya untuk tamu pria, sedangkan untuk tamu wanita
biasanya di terima di rumah. Untuk besan terdekat disediakan tempat khusus dan
hidangannya telah tersedia di tikar atau permandani.
3. Peulaminan
(Pelaminan)
Saat itu di dalam rumah juga dihias dengan tabing atau tabir
pada dinding tempat menerima tamu. Untuk tempat duduk pengantin dibuat
pelaminan yang terdiri dari:
- Tabeng (Tirai)
- Ayue-ayue di
tempatkan diatas/ depan pelaminan
- Boh keulembu,
hiasan ini berupa binatang-binatang.
- Kasho Duk, tilam
persegi emapat untuk duduk yang di lapisi dengan tika meusujoe (tikar bersulam
benang emas/ kasab).
- Dan lain-alian
sulaman khas aceh untuk keindahan yang tidak terikat.
Pada zaman dahulu, pelaminan dibuat dari kayu berbentuk tempat
tidur dan berukuran single bad, serta dihias dengan kain tile (seperti kelambu)
atau kain yang diberi hiasan, boleh juga kain brukat. Warna dasarnya kuning,
merah dan hijau atau violet.
Kain hiasan berkasap dibuat secara tradisional daerah Aceh.
Masing-masing kain yang terdiri dari berbagai warna yang berukuran 2,25 m yang
terdiri dari 7 (tujuh) macam warna. Pada bagian kiri dan kanan pelaminan
memiliki warna yang sama simetris. Kain-kain tersebut, bagian depannya ditarik
kesamping kiri dan kanan dengan menggunakan kait kelambu yang terbuat dari emas
atau perak. Sehingga terlihat seperti pintu berlapis 7 (tujuh) Pinto Tujoh.
Pada bagian atas pelaminan (kiri, kanan dan depan) dilapisi
dengan ayu-ayu 9kain berbentuk riak-riak yang bersulam emas).
Kain-kain yang ada disamping kiri-kanan juga dibentuk
seperti bagian depan (berbentuk fitrasye jendela). Setelah itu, di seluruh
pelaminan disematkan hiasan-biasan berupa kipas, ayam, kepiting, atau hiasan
lainnya sesuai dengan seni masing-masing perias.
Alas tempat duduk diberi tilam dan dilapisi dengan sarung
tilam berkasab (tika meusujoe) dan dilengkapi dengan sepasang bantai 9bantal)
sadeu (banta sandaran), kaso duek (tilam duduk); sedangkan di samping kiri dan
kanannya dihiasi dengan bantai meutampok (bantal bertampuk emas/perak) dan
masing-masing berjumlah ganjil.
Pada dinding-dinding sekitar pelaminan diberi “tabing”
(tabir/ tirai) dan dibagian atasnya diberi kain langit-langit. Pada lantai di
sekitar pelaminan dibentangkan permandani. Dari mulai pintu masuk sampai ke
pelaminan di bentangkan kain titi. Pada zaman dahulu, kain titi berwarna kuning
hanya digunakan oleh kaum bangsawan saja, tetapi zaman sekarang dapat dipat
oleh semua orang yang menghendakinya. Setelah itu, di bagian depan pelaminan
diberi sepasang dalong kiri dan kanan berisi seunijuek, yang terdiri dari:
- Beulukat dengan
tumpo (ketan kuning dan tumpo/inti sari)
- On seunijuek (Daun
cocor bebek)
- On Gaca (Daun
Pacar/ Inai)
- Naleung Sitambo
(Rumput/ Gulma/ berakar kokoh)
- On Seuke Pulot
(Daun Pandan)
- Manek Mano dan
lain-lain dengan jumlah ganjil.
- Breuh Padee/ Kunyet
(beras Padi Kunyit)
- Bungong Rampou
(bunga rampai)
- Ie Lammangkong (Air
dalam mangkok)
- Barang Meuh (Barang
Emas).
Pada sisi kana nada dalam piring besar, di tempatkan dalam
dalong yang telah dialasi ceradi 9alas dalong berumbai). Kemudia ketan itu
dihias atasnya dengan U mirah (Kelapa gongseng Merah). U mirah yang menjadi
hiasan tersebut dapat berupa bunga atau gambar apa saja yang disukai.
Kemudian
dalong tersebut ditutup dengan sangee (tudung saji) dan diatasnya di tutup lagi
dengan seuhap (kain penutup dengan sulaman kasab).
Dalam kebudayaan Aceh, cara menghias pelaminan tidak terlalu
terikat, karena terus berkembang dan kreasinya sesuai seni masing-masing perias
asalkan tidak meninggalkan ciri-ciri khasnya. Pada pintu masuk sudah disiapkan
alat-alat perlengkapan cuci kaki pengantin pria yang terdiri dari :
- Mundam (Tempat Air)
- Bate ie (Gayung
Air)
4. Malam
Peugaca (Malam Berinai)
Arti dari malam peugaca adalah malam berinai menjelang
Wolinto. Dalam upacara ini juga diadakan peusijuek calon dara baro (mempelai
wanita), dan peusijuek gaca, bate mupeh (batu giling).
Maksud dari peusijuek adalah member dan menerima restu,
serta mengharapkan keselamatan atas segala peristiwa yang telah dan akan
terjadi.
Persediaan dan Makna:
- Breuh Pade (Beras
Padi) Melambangkan Kemakmuran
- Naleung Sitambo
(Rumput/ Gulma berakar kokoh) melambangkan kehidupan yang mendapat kemudahan
dan kokoh dalam mepertahankan hidupnya.
- On Gaca (daun
pacar/ inai) melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai
perhiasan rumah tangga.
- On Seunijuek (daun
cocor bebek) melambangkan kesejukan.
- Buluekat kuneng
(Ketan Kuning) Melambangkan kesuburan, kedamaian dan menonjol dalam kehidupan.
- On Murong (daun
kelor) lambing penangkal ilmu hitam.
- On Manek Mano
sebagai pelengkap dan memeriahkan suasana.
Seluruh daun-daun diikat menjadi satu atau dua ikat dan
ditempatkan dalam mangkok besar yang berisi air. Bunga rampai, beras, padi
ditempatkan dalam piring kecil. Kemudian mangkok dan piring di letakkan didalam
dalong dan ditutup dengan tudung saji, lalu ditutup dengan seuhap (kain segi
empat bersulam emas atau perak dipakai untuk menutupi tudung saji).
Daun pacar yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan
dalam piring besar didalam dalong lain. Batu giling diletakkan pada “tika
meusujo”dan dialas kain.
Upacara peugaca ini biasanya dilaksankan pada malam hari
selama 3-7 malam, semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias
didalam dalong pada tika meusujo (tikar kerawang khas Aceh). Busana yang
dikenakan oleh dara baro pada upacara malam peugaca tidak terikat dan terus
berganti-ganti dari malam pertama hingga malam ketujuh.
a. Pelaksanaan Peusijuk Gaca
Upacara Peusijuk dipimpin oleh “Nek Maja” (sesepuh adat),
dan dimulai oleh orang tua/ibu calon “dara baro”, kemudian diikuti oleh
keluarga terdekat, pada saat peusijuk dimulai, dalam tempat yang berisi air
seunijuk dimasukkan emas sebagai lambing kemuliaan yang tidak pernah luntur.
Peusijuek ini ditujukan kepada calon dara baro, batu giling, daun pacar dan
hadirin yang ada di sekitarnya juga diberikan percikan air seunijuk (tempung
tawar).
Calon dara baro, didudukkan di tilam bersulam kasap, di
sebelah kiri dan kanannya diletakkan dalong berisi seunijuk dan bu leukat
(tepung tawar dan ketan), dibagian depannya diletakkan dalong berisi daun pacar
dan bate seumeupeh (batu giling). Kaki dara baro dialasi dengan daun pisang
muda.
Beras padi ditaburkan/ disebarkan ke samping dara baro,
demikian pula halnya dengan bunga rampai dan air seunijuek. Seumunya ini
dimulai dari telapak tangan mengintari badan menuju keatas kepala.
Setelah itu
calon dara baro diberi uang sebagai hadiah, kemudian bersujud mencium tangan
yang melakukan peusijuek dan dibalas dengan ciuman kasih saying pada dahi lalu
peusijuek bate dan gaca.
Selesai peusijuk, barulah daun pacar digiling oleh ibu calon
dara baro dan keluarga terdekat secara bergantian. Demikian pula memberi daun
pacar yang telah digiling itu pada calon dara baro secara bergantian dan
disempurnakan oleh ahlinya (ibu rias).
Upacara peusijuk biasanya dilaksanakan pagi hari, dengan
harapan kehidupan terus menanjak dan murah rezeki. Upacara peusijuek
dilaksanakan dengan harapan agar mempelai mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Pada saat itu biasanya diadakan malam kesenian untuk hiburan mereka
yang sedang bekerja untuk persiapan pesta.
b. Koh Gigo
Pada masa lampau, seorang gadis yang telah dinikahkan,
giginya harus dipotong dengan alat pengikir gigi. Gigi yang telah dipotong itu
diberi obat penguat gigi (baja bruek). Pemotongan gigi ini sekurang-kurangnya
dilaksankan 7 (tujuh) hari menjelang pesta wolinto. Bahan-bahan yang diperlukan
untuk Koh Gigo ini adalah:
- Pengikir Gigi
- Pinang Tua yang
sudah di kupas (Pineung ruek)
- Baja Bruek (Abu
sisa pembakaran Tempurung Kelapa)
- Segelas air putih
hangat-hangat kuku yang telah diberi sedikit garam untuk ber kumur-kumur
- Perca kain yang
bersih (sapu tangan)
- Air hangat atau
panas
- Tapeh (sabut kelapa
yang telah dibersihkan)
c. Cara Pemotongan Gigi
Mempelai dalam posisi tidur diatas kasur sederhana (bebas).
Pada bagian dada di tutup kain putih atau kain panjang, rambut dibiarkan
terurai (tanpa sanggul). Agar mulut agak terbuka, antara gigi samping atas
bawah disanggah oleh pineung ruek (pinang tua) yang telah dikupas dan
dibersihkan.
Pemotongan gigi mulai dilakukan dengan membaca basmalah dan
dilakukan dengan mengikir gigi bagian sisi yang tidak diganjal. Setelah selesai
bagian sisi satunya, diteruskan dengan bagian sisi yang lain, kemudian
kumur-kumur dengan air hangat yang telah dicampur dengan garam. Ambil kain
perca yang telah di rendam air panas dan peraslah perca itu. Sebelum mempelai
mengatupkan gigi atas dan gigi bawah, letakkan perca yang telas steril tersebut diantara gigi atas
dan gigi bawah mempelai agar gigi kokoh dan kuat. Berikan baja Bruek ke setiap
celah gigi hingga merata, biarkan beberapa saat, kemudian bersihkan dengan
“tapeh/ sabuk kelapa” dan berkumur-kumur dengan air hangat dan bersih.
Menurut penilaian masyarakat pada zaman dahulu, pemotongan
gigi, akan memberikan kesan lebih cantik dan sekaligus sebagai tanda bahwa
wanita tersebut telah menikah (bersuami), Namun zaman sekarang hal ini sudah
tidak lazim lagi dilakukan.
d. Koh Andam (Memotong rambut halus dibagian dahi).
Koh andam ini dilakukan pada calon mempelai wanita (dara
baro) yang akan bersanding. Pada upacara koh andam, dicukur bulu-bulu halus yang
terdapat pada bagian wajah dan kuduk dan digunting ujung rambutnya agar
kelihatan lebih bersih. Semua ini melambangkan, agar hal-hal yang kurang baik
pada zaman dahulu harus dihilangkan dan memulai dengan yang baru. Zaman
sekarang hal itu sudah kurang dilakukan.
Pelaksanaan upacara Koh Andam dilakukan saat dara baro dalam
keadaan suci badan/ bebas haid atau hadas. Bulu-bulu yang telah dicukur dan
rambut yang telah digunting ditempatkan didalam kelapa gading ataupun kelapa
hijau yang masih ada airnya dan telah diukir sedemikian rupa.
Kelapa ukiran yang berisi ujung rambut dan bulu-bulu roma
calon mempelai wanita tersebut ditanam tepat dibawah cucuran air dari atap
rumah atau dibawah pohon yang rindang dan berhawa sejuk. Hal ini dilakukan
dengan harapan agar mempelai wanita selalu berkepala dingin (berfikiran tenang)
dalam menghadapi segala kemelut rumah tangga yang akan dijalaninya nanti
sehingga dapat hidup dengan rukun da damai.
e. Peumano Dara Baro
Sebelum memasuki upacara peumano juga dilakukan peusijuek
(tepung tawar) terlebih dahulu dan beberapa hari sebelumnya dara baro (mempelai
wanita) sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus.
Upacara Peumano (memandikan), baik calon mempelai wanita
maupun mempelai pria dimandikan oleh orang tua adat yang taat, orang tua
mempelai dan sanak keluarga terdekat dari kedua orang tuanya dalam jumlah yang
ganjil. Dalam upacara mandi dibacakan doa-doa bersuci, agar calon mempelai
bersih lahir dan batin dalam memasuki jenjang perkawainan.
Mempelai dipayungi, diantara orang tuanya dan sanak saudara
terdekat yang dipimpin oleh orang tua adat sampai ke tempat pemandian sambil
membaca salawat nabi Muhammad SAW. Karena diantara pengiring tersebut ada yang
pandai berpantun, maka ada acara bersyair. Acara itu merupakan acara
spontanitas yang dapat menambah khitmatnya suasana pemandian. Syairnya berisi
puji-pujian pada keluarga dan nasehat untuk mempelai sesuai dengan kondisi saat
itu.
Contoh Syair yang biasa di lantunkan SBB:
Treun tajak manoe
Dara Baro Treun Tajak
Manoe
Oh Lheuh manoe Lake Seunaleun
Ija nyang laen Seunalen Manoe
Wahe putroe aneuk meutuah
Gata lon seurah Ta tinggai poma
Meunyo tajak Bek tuwo kamo
Bek trep-trep beutawo tajingeuk poma
Adapun arti harfiahnya Sbb:
Turun kita menuju mandi
Mempelai putri turunlah kita pergi mandi
Selesai mandi pintalah kain penyeka
Kain yang lain penyeka badan seusai mandi
Wahai putrid ananda yang bertuah, kami pasrahkan engkau
Meninggalkan ibunda, Jikalau engkau pergi jangan lupakan
kami
Jangan lama-lama sekali engkau pulang, pulanglah kunjungi
ibunda.
Upacara peumano dara baro, dimasa lampau dilaksankan penuh
khidmat dan mempunyai makna sangat sakral. Dahulu pelaksanaan upacara ini hanya
untuk kalangan keluarga terdekat saja dan hanya dilakukan oleh kaum bangsawan.
Tetapi sekarang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.
Pada saat upacara pemano dara baro, di sertai dengan tari
pho (asal Aceh Barat). Adapun perlengkapan yang diperlukan:
- Sebuah guci yang
berisi air
- Jeruk purut yang
sudah diracik
- Bunga rampai (bunga
setaman)
- Sebotol minyak
wangi
- Gayung mandi (Batee
ie)
- Handuk (Seunalen)
- Ija Seunalen (kain
untuk bersalin/basahan)
Guci yang telah berisi air dimasukkan jeruk purut, bunga
rampai dan minyak wangi.
Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat, dimulai dengan orang
tua mempelai dan diikuti oleh keluarga terdekat. Caranya adalah dengan
menyiramkan segayung air ramuan tersebut mulai dari atas kepala, ke bahu
(pundak) sebelah kanan dan kiri hingga rata keseluruh badan dan kaki yang
dilakukan secra bergantian oleh ibu-ibu saja. Boleh diikut sertakan ayah
kandungnya.
f. Peukayan Mano (Busana Mandi)
Pada masa lampau, peukayan manoe, meugeutang ngon ija krong
sutra (kemben sarung sutra). Ija Sawak meutop baho meu junte u baroh (selendang
menutup bahu berjuntai ke bawah). Dada mempelai putri yang terbuka di tutup
dengan perhiasan (kalung besar) sesuai dengan kemampuan, biasanya memakai
kalung berangkai (eunteuk) atau kalung lainya yang terbuat dari emas.
Rambut dapat di lepas atau disanggul sederhana, agar gampang
dilepas ketika akan mandi. Rambut dihiasi bunga dengan satu macam bunga tau
bermacam-macam bunga untuk keindahan. Hiasan rambut hanya berupa bunga-bungaan
saja, tanpa ornament, tidak terikat peraturan yang kaku, asalkan tidak
menyimpang dari adat dan melanggar agama.
g.Khatam Qur’an
Perlengkapannya sbb:
- Beureuteh (Bereteh)
- Pisang Buie
- Buluekat (Nasi
Ketan)
- Tumpo
- Breuh Mangkong
(Beras didalam mangkong)
- Pade Mangkong (Padi
didalam Mangkong)
- Boh Manok Gampong
(Telur Ayam Kampung)
Upacara Khatam Qur’an ini dipimpin oleh Guru Ngaji dan
dimulai dengan membaca do’a memohon kepada Allah YME agar bahagia dunia dan
akhirat. Kemudian calon mempelai diusapi ketan dan tumpo yang telah tersedia,
baru membaca ayat terakhir Al-Qur’an. Setelah selesai calon dara baro menyalami
dan mengucapkan terima kasih serta mohon maaf atas segala kesalahan dan juga
mohon do’a restu kepada nguru ngaji sebagai tanda terimakasih dan pengambilan
tarikat ilmu.
Sumber :
http://pernikahan-adat-aceh.blogspot.com/
http://galihjalusaputra.blogspot.com/2015/05/adat-istiadat-di-suatu-daerah_5.html#more
http://pangeranarti.blogspot.com/2014/11/pengertian-adat-istiadat-lengkap.html
Sumber :
http://pernikahan-adat-aceh.blogspot.com/
http://galihjalusaputra.blogspot.com/2015/05/adat-istiadat-di-suatu-daerah_5.html#more
http://pangeranarti.blogspot.com/2014/11/pengertian-adat-istiadat-lengkap.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar